Jumat, 17 Agustus 2012

Peace Culture


Dara Alexandra 2008-0701-231


Peace Culture 
Elise Boulding

Pada awal artikel, Elise Bouilding memberikan sejumlah daftar pengertian beberapa kata dan istilah seperti ahimsa, altruism, civil society, culture of peace, peace, power, utopianonviolence, hingga pengertian dari peace culture itu sendiri. Ahimsa misalnya, merupakan salahsatu ajaran Mahatma Gandhi mengenai prinsip praktek tidak membunuh dan tidak menghancurkan segala hal yang hidup. Culture of peace, sekelompok karakteristik saling berhubungan dan berlembaga yang mengizinkan masyarakatnya untuk memberikan respons secara kreatif dan bersifat damai terhadap perbedaan dan konflik. ‘Utopia’ merupakan judul buku karangan Thomas More (1516) mengenai sebuah tempat khayalan dimana masyarakatnya telah mencapai sistem sosial yang sempurna. Utopia juga bisa berarti komunitas yang bertujuan untuk menciptakan sebuat miniatur lembaga atau masyarakat ideal. Membicarakan mengenai perdamaian identik dengan perilaku tanpa menggunakan kekerasan fisik maupun mental (nonviolence) dalam menghadapi konflik, perbedaan dan masalah sosial lainnya. Peace culture sendiri memiliki 5 atribut yaitu sebagai identitas, perilaku, nilai, kepercayaan, dan institusi atau lembaga.

Pada prakteknya, seperti yang diakui oleh Gandhi sendiri terhadap ajaran Ahimsa, penyelesaian konflik tanpa kekerasan tidak selalu dapat dilakukan dan membutuhkan penyelesaian masalah melalui kerjasama yang memenuhi kebutuhan semua pihak. Tentu saja pemenuhan kebutuhan bagi semua pihak menjadi goal yang sulit tercapai. Dalam kehidupan sehari-hari manusia pasti pernah mengalami kejadian dimana kebutuhannya tidak terpenuhi sama besarnya dengan orang lain dalam bekerja sama di kehidupan sehari-hari. Altruism atau prinsip kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain walau mengorbankan kesejahteraan sendiri seharusnya dapat ditekankan tetapi kekerasan tetap menjadi jalan keluar utama karena selain paling mudah untuk dilakukan, juga cepat dan merupakan bagian dari kebudayaan (melalui ajaran agama misalnya). Pada prakteknya tindakan altruism itu sulit karena diri sendiri yang dirugikan, sedangkan kekerasan gampang karena cepat dan hasil bisa lebih menguntungkan diri sendiri, sayangnya hanya menimbulkan konflik baru (terlihat menyelesaikan masalah pada awalnya).

Dari semakin banyaknya berita di media masa mengenai tindak kekerasan yang dilakukan baik oleh anggota masyarakat terhadap sesama anggota maupun kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap anggota masyarakat dalam menyelesaikan konflik, menandakan bahwa kekerasan masih menjadi jalan keluar utama dalam penyelesaian konflik padahal konflik merupakan hal yang sulit dihindari dalam hidup. Konflik menjadi bagian dari hidup, didukung dengan fakta bahwa manusia hidup berdampingan. Dalam menghadapi perdebatan dengan diri sendiri saja masih sulit, apalagi ketika harus berhadapan dengan orang lain. Tetapi harus dipisahkan antara konflik dengan kekerasan karena keduanya bukan hal yang yang sama. Sehingga budaya kekerasan terus menerus berlanjut. Berbagai pemberitaan di media televisi, surat kabar, internet, maupun mengalami langsung, orang mengetahui bahwa kekerasan masih menjadi alat utama dalam menghadapi permasalahan, jarang diberitakan kepada dunia bahwa masih banyak komunitas-komunitas yang mengajarkan penyelesaian konflik tanpa kekerasan . Biasanya mereka dapat ditemukan dalam komunitas-komunitas yang mematuhi ajaran agama tanpa kekerasan dan komunitas asli yang masih terisolasi namun menangani segala konflik dengan mudah tetapi praktis tanpa kekerasan. Sehingga perlu adanya tindakan konkret untuk memberhentikan budaya kekerasan dan sedikit demi sedikit menggantinya dengan kebudayaan damai. Tetapi secara umum dalam artikel dikatakan bahwa kedamaian dan agresi hidup bersamaan sebagai kelompok sikap dan perilaku yang ada di sebagian besar masyarakat, mencerminkan kebutuhan manusia untuk pada satu sisi menjalin ikatan, dan di sisi lain untuk otonomi, juga untuk memiliki ruang pribadi (personal space). Setiap kultur mengembangkan polanya sendiri dalam menyeimbangkan kedua hal ini. Pola bisa tanpa kekerasan namun bisa juga dengan menggunakan kekerasan tergantung periodenya. Pada tahun 1986, UNESCO mensponsori Seville Statement on Violence, yang menyatakan “It is Scientifically incorrect to say we have inherited a tendency to make war from our animal ancestors. War is biologically possible, but it is not inevintable.” Dan “There are cultures which have not engaged in war for centuries, and there are cultures which have engaged in war frequently at some times and not at others.” Pernyataan ini menyimpulkan bahwa perang dimulai dari pikiran manusia, begitu juga dengan perdamaian juga dimulai dari pikiran. Spesies yang sama yang menciptakan perang juga mampu menciptakan perdamaian. Tanggung jawab menjadi milik kita semua. Tetapi perlu ditekankan pula bahwa peace culture atau kebudayaan damai tidak dapat dikatakan berhasil hanya dengan absennya peperangan saja. Peace culture merupakan sebuah proses penyelesaian masalah tanpa kekerasan yang terus berlanjut dan penciptaan sebuah institusi yang dapat memenuhi kebutuhan semua anggotanya. Bagaimanapun juga, dalam setiap masyarakat, sekeras apapun itu, penjalinan ikatan merupakan pusat reproduksi dari masyarakat tersebut. Kehidupan sehari-hari berkisar antara membesarkan dan memberi makan pada keluarga, dan mengatur produksi dan pemenuhan kebutuhan manusia, diselingi dengan pesta juga perayaan kreativitas manusia dalam puisi, lagu, tarian, dan seni. Tetapi sebagian besar sejarah manusia dicatat dari kebangkitan dan kejatuhan dari kerajaan-kerajaan. Berkisar antara peperangan, militer, dan revolusi politik. Menceritakan mengenai kekuatan suatu bangsa, bagaimana bangsa itu mengalahkan bangsa yang lebih lemah dan bersaing dengan bangsa lainnya. Sejak zaman dahulu, catatan sejarah hanya berpusat pada kemenangan-kekalahan pendeta-raja dan tuhannya di dunia ini, juga kemegahan kemenangan pejuang-pejuang zaman dahulu. Hal ini sedikit banyak mempengaruhi cara berpikir dan self-image sebagian besar orang. Catatan sejarah seperti ini mengarahkan pandangan bahwa perjuangan untuk mendapatkan kekuatan menjadi dasar dari eksistensi manusia. Banyaknya laporan mengenai tingginya kesiapan militer akan bahaya yang mengancam dari luar serta kekerasan antar kebudayaan menjadi bukti dari pandangan ini. Tetapi telah dimulai inspeksi akan pandangan sejarah yang lebih berpusat pada peperangan menjadi lebih mendukung pencatatan sejarah dari sisi hubungan manusia dengan hidup itu sendiri. Hal ini diharapkan akan lebih menyeimbangkan kebudayaan ‘pejuang’ dan peace culture dan membuka konsep yang lebih kuat mengenai peace culture. Bibit dari perkembangan ini telah ditemukan di masing-masing tradisi ‘pejuang’ seperti angkatan laut Inggris yang memiliki moto perdamaian dalam berlayar, dan sebuah proyek yang dimulai di Jerman tentang langkah penting pengubahan gambaran dari sejarah dengan lebih mengutamakan filosofi, seni, pembelajaraan, karya tulis, agama, teknologi, ilmu pengetahuan, dan lainnya, seiring berjalannya waktu. Saya sangat setuju dengan pandangan dan proyek pengembangan dan inspeksi bagaimana sejarah manusia di catat. Hal ini dikarenakan pandangan pribadi bahwa sedari kecil orang terbiasa untuk belajar sejarah hanya dari buku-buku yang diberikan sekolah, misalnya mengenai bagaimana bangsa Belanda menindas nenek moyang zaman dahulu dan bagaimana pejuang Indonesia mengusir Belanda dengan menggunakan bambu runcind (identik dengan kekerasan). Sebagian besar buku tersebut berpusat pada bagaimana sejarah dicatat dari perjuangan manusia untuk menang akan manusia lain dan bagaimana bangsa yang kalah diperlakukan oleh bangsa yang kuat akan menandakan bahwa bagaimana bangsa tersebut akan dipandang. Sayangnya tidak banyak diberitahukan bagaimana komunitas-komunitas yang mungkin tidak terlihat dan terisolasi menangani konflik atau masalah sosial sehari-hari dengan mencoba menemukan strategi berpikir yang tanpa kekerasan dan sebisa mungkin memenuhi kebutuhan semua pihak sehingga tidak ada yang merasa dirugikan. Seharunya pencatatan sejarah serta kurikulum sekolah juga mendukung kebudayaan damai dengan lebih menekankan mengenai filosofi, pembelajaran, musik, seni, kehidupan sehari-hari, ilmu pengetahuan, teknologi manusia zaman dahulu, sehingga pada setiap individu tercipta pandangan bahwa hidup manusia bukanlah dari kompetisi, kalah-menang dengan adu jotos saja, atau bahwa manusia ada hanya dari bagaimana ia mengalahkan orang atau bangsa lain. Dari artikel karya Elise Bouding ini dapat dilihat bahwa pada dasarnya manusia mendambakan kedamaian atau ‘dunia yang lebih baik lagi dimana segala sesuatu berjalan dengan harmonis’ yang berseberangan dengan permasalahan yang masih dialami dalam masa sekarang, ditunjukan dengan banyaknya konsep dari masyarakat atau komunitas mengenai Utopia (‘no place’). Elemen dari Utopia dapat ditemukan pada Taoism, Theravada BudhismMedieval Islam, juga cerita-cerita bangsa Cina, Indian, dan Jepang mengenai surga khayalan. Walaupun utopia terdengar seperti kahayalan belaka dan ingin lari dari realita, sebenanrnya sejarah dan penulisan mengenai utopia merupakan karya master dari kritik sosial akan keadaan zaman tersebut. Pada kenyataannya pun, dalam pencapaian ‘utopia’ di kehidupan nyata, tidak bisa menghindari konflik dengan kekerasaan dalam pencapaiannya. Walaupun tujuan perjuangan tersebut adalah demi persamaan, keadilan, dan kedamaian masyarakat. Selain itu, dalam usaha menyebarkan bibik budaya damai, perlu juga dalam materi pelajaran sejarah maupun budaya di sekolah yang mempelajari kebudayaan bangsa lain yang sudah lebih maju dalam perkembangan peace culture-nya sehingga dapat dijadikan acuan untuk mengelaborasi dengan budaya asal dan pengembangannya menjadi sesuai dengan situasi sekitar. Hal lain yang musti diutamakan dan juga dijelaskan dalam artikel adalah hubungan budaya wanita dengan peace culture karena peran wanita dalam keluarga yang menunjukan sikap pengasuhan dan damai dalam masyarakat sudah menjadi tema dalam perkembangan sejarah manusia. Sebagian besar kebudayaan didominasi dari kaum pria dan wanita serta anak-anak menjadi korban paling besar dalam peperangan. Sudah menjadi bagian dari sejarah bahwa wanita secara konstan bekerja secara kreatif untuk mengasuh, menyembuhkan, dan mengembangkan pria serta anak-anak dalam pengasuhan mereka. Sering wanitalah yang kembali membangun sisa-sisa perang, pengolahan sawah dan kanal, sampai ke rumah sakit dan kamp penampungan korban perang, juga untuk memelihara seni, tarian dan puisi. Semua hal ini telah lebih baik di zaman sekarang, dan diharapkan akan semakin mengalami peningkatan dalam perkembangannya.

Dari artikel ini dapat dilihat bahwa damai bukanlah sekedar kata, sekedar sikap menjaga keharmonisan menghindari konfli. Bisa disimpulkan bahwa kata damai itu sendiri kompleks dan menjadi filosofi hidup yang ingin dicapai sebagaian besar masyarakat dunia tetapi prakteknya lebih sulit dari teori. Peace culture lebih mudah dijalankan pada level mikro yaitu komunitas-komunitas kecil yang menjadi bagian dari masyarakat dibandingkan pada level makro yang di dalamnya termasuk suatu bangsa besar. Tetapi perdamaian bukan tidak mungkin tercapai karena terbukti bahwa sebenanrnya semua orang mengimpikan perdamaian. Damai harus dijadikan budaya dan peace culture memerlukan strategi tingkat tinggi dan proyek jangka panjang dimana segala bidang mulai dari politik, pendidikan, agama, seni, sejarah, teknologi ikut mendorong perkembangan budaya ini sama dengan bagaimana segala bidang dapat menciptakan budaya kekerasan. Semua umat manusia bertanggung jawab akan hal ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar