Efriliani Pancarani 2010-070-137
Dampak Psikososial Konflik Berkekerasan dan Berkelanjutan
Seseorang mengalami stres karena situasi eksternal atau internal yang terjadi pada dirinya yang kemudian memunculkan tekanan dan mengganggu keseimbangan hidup individu tersebut dan ia dituntut untuk beradaptasi dengan situasi tersebut. Banyak situasi dalam kehidupan sehari-hari yang dapat menimbulkan stress, misalnya jalan raya yang macet, telat bangun, telat masuk kantor atau telat masuk sekolah. Namun, stress tidak hanya seputar hal-hal negatif dan mengganggu seperti yang telah disebutkan di atas. Eustress adalah ‘stres dalam artian positif’, yaitu suatu keadaan yang dapat memotivasi individu dan bersifat menguntungkan. Misalnya saja bagi beberapa orang, keadaan terjepit atau tertekan justru akan lebih memotivasi dirinya dan memungkinkan ia untuk bekerja lebih maksimal dari biasanya.
Dalam paper ini akan lebih dijelaskan stres yang bersifat negatif. Seseorang dikatakan mengalami stress apabila ia memperlihatkan beberapa gejala, seperti rasa gelisah yang berlebihan, tegang dan cemas, sakit kepala, mulas, gatal-gatal, diare, mudah lelah, tegang otot, gangguan tidur (entah tidur lebih lama atau sulit tidur), meningkatnya tekanan darah dan detak jantung. Ada pula perubahan perilaku pada individu, seperti cepat marah, tidak sabaran, agresif menarik diri dari lingkungan sosial, frustrasi, putus asa dan depresi.
Berbeda dengan stres yang dialami sehari-hari, ada pula stres pasca trauma yang terjadi akibat seseorang mengalami pengalaman-pengalaman yang mengagetkan dan menyakitkan (traumatis). Stress pasca trauma biasanya terjadi sangat mendadak sehingga mengguncang kondisi psikologis individu atau kelompok bahkan dapat menyebabkan gangguan kejiwaan. Stress pasca trauma seperti yang dialami oleh korban perang biasanya akan menimbulkan rasa putus asa dan menyebabkan teror bagi semua orang yang mengalami kejadian traumatis tersebut.
Trauma ialah luka atau kekagetan. Menurut James (dalam Irwanto 2007), trauma adalah kejutan emosional (emotional shock) yang terjadi karena pengalaman ekstrem terhadap peristiwa yang tingkatannya diluar pengalaman biasa sehari-hari. Trauma mengandung unsur-unsur yang menakutkan, mengerikan, menyedihkan, mengancam fisik, kesejahteraan jiwa dan ketidakberdayaan dari orang yang mengalaminya. Terdapat dua tipe trauma, yaitu trauma tipe 2 dan trauma tipe 1. Trauma tipe 2 terjadi akibat kejadian yang berkelanjutan, misalnya peperangan atau konflik antar suku yang umumnya terjadi selama bertahun-tahun. Sedangkan trauma tipe 1 terjadi akibat kejadian tunggal, misalnya terguncang setelah mengalami kecelakaan mobil.
Terdapat tiga reaksi perilaku yang muncul akibat trauma, hyperarousal, intrusi dan konstriksi. Hyperarousal adalah suatu kondisi dimana seseorang memunculkan reaksi panik dan ketakutan yang terus menerus akibatnya yang bersangkutan berperilaku lebih agresif, mudah terkejut akan suatu hal, muncul reaksi yang sangat intens apabila diingatkan dengan kejadian traumanya dan sulit tidur. Individu kehilangan rasa percaya diri dan rasa benci yang dalam kepada orang atau hal yang berhubungan dengan peristiwa traumatiknya. Intrusi mencerminkan kejadian traumatik yang melekat dalam ingatannya baik dalam keadaan sadar maupun saat tidur. Hal ini berakibat buruk pada kesehatan (depresi) dan hubungan sosial individu. Konstriksi mengakibatkan perilaku ingin bunuh diri karena ia mempunyai pikiran negatif terhadap dirinya setelah terjadinya trauma. Perilaku menghindar juga terjadi dalam bentuk kehilangan ingatan (amnesia), tidak mau bicara mengenai hal-hal yang mengingatkannya pada kejadian traumatik yang dialami.
Sangatlah wajar apabila seseorang mengalami kecemasan dan ketakutan setelah terjadinya trauma. Biasanya kondisi tersebut akan menghilang seiring dengan berjalannya waktu. Namun, orang tersebut akan mengalami stres pasca trauma atau biasa disebut PTSD (post traumatic stress disorder) apabila dalam waktu yang lama orang tersebut tetap menunjukkan kegelisahan, kewaspadaan yang berlebih, depresi, sulit tidur, menarik diri dari lingkungan dan gejala trauma lain.
Umumnya korban PTSD memiliki ukuran hippocampus yang lebih kecil dibandingkan dengan orang normal dan memiliki level kortisol yang lebih rendah. Kortisol merupakan hormon stres yang membantu tubuh memobilisasi energi untuk menghadapi situasi yang sulit. Dengan level kortisol yang rendah, korban PTSD akan sulit menghadapi situasi yang menekan dan menuntut dalam kehidupannya. Normalnya, stres yang terus menerus mengakibatkan peningkatan kortisol yang kemudian akan meningkatkan gula darah dan metabolisme tubuh tetapi menyebabkan energi yang harusnya digunakan untuk sintesis protein (termasuk untuk sistem imun) digunakan untuk menghadapi stres. Stres yang berkelanjutan akan menyebabkan level kortisol tinggi dan merupakan salah satu penyebab kerusakan otak pada bagian hippocampus. Hippocampus merupakan salah satu bagian otak yang berperan penting dalam memori. Kerusakan pada bagian ini akan menyebabkan kerusakan memori.
Faktor psikososial berbicara mengenai perasaan, pikiran, tindakan atau perilaku, dan hubungan antar pribadi. Individu akan mengalami perasaan yang negatif akibat trauma, misalnya rasa cemas berlebihan, takut, marah, depresi, dendam, frustrasi, sedih, putus asa dan rasa curiga yang berlebihan. Terkait dengan pemikirannya, individu akan lebih memikirkan hal-hal buruk tentang peristiwa-peristiwa traumanya, berpikir negatif tentang kehidupan, tidak mampu berkonsentrasi dan kehilangan ketertarikannya pada kegiatan sehari-hari. Perilaku korban juga akan berubah menjadi lebih agresif, overprotektif, pemarah, pemalu, kurang bersemangat, gelisah, destruktif, dan mencari perhatian. Kondisi fisik seseorang yang mengalami trauma akan menjadi kurang fit karena tidak napsu makan dan sulit tidur, sakit kepala, mual, detak jantung dan tekanan darah meningkat. Orang juga akan sulit untuk membangun hubungan sosial yang baik karena mereka sulit percaya pada orang lain, mudah tersinggung, mudah marah, agresif dan bahkan menolak untuk bersosialisasi.
Kondisi-kondisi di atas dirangkum menjadi sembilan kondisi yang berasal dari pengalaman traumagenik (keadaan traumagenik), yaitu:
- Menyalahkan diri sendiri: rasa bersalah, rasa malu; akibatnya: mengurung diri, bunuh diri
- Ketidakberdayaan: cemas, takut, depresi, merasa tidak berguna; akibatnya: mimpi buruk, menarik diri dari lingkungan sosial, fobia, obsesif, berfantasi
- Perasaan kehilangan atau dikhianati: merasa bersalah, marah, rasa curiga pada orang lain; akibatnya: pendiam, mengucilkan diri, menghindari hubungan personal
- Fragmentasi pengalaman badani: kebencian terhadap diri sendiri, hilang rasa percaya diri; akibatnya: kejang-kejang histeris, perilaku agresif yang ekstrim, banyak melamun
- Stigmatisasi: merasa bersalah, malu, low self-esteem, benci terhadap diri sendiri; akibatnya: mengurung diri, merusak diri sendiri dengan memakai narkoba
- Erotisasi: sulit membedakan kasih sayang dan pengasuhan, asosiasi positif pada ekspoitasi seksual, asosiasi negatif pada rangsangan atau aktivitas seksual; akibatnya: perilaku seksual agresif
- Perilaku destruktif: menyalahkan diri sendiri, hilang kendali emosi, merasa pantas menerima hukuman; akibatnya: menarik diri, perilaku destruktif pada diri sendiri
- Gangguan kepribadian ganda: menyimpan emosi yang sangat intens, depersonalisasi; akibatnya: tidak mengakui tindakannya sendiri, suasana hati atau perilaku mengalami perubahan mendadak
- Gangguan hubungan interpersonal: kesepian, tertekan, menjauhi orang lain; akibatnya: sangat tergantung pada orang lain atau cari perhatian, kaku, menekan perasaan sendiri, reaksi marah berlebihan, tidak mampu menanggapi perhatian orang lain
Kondisi para korban stres pasca trauma ini sering kali semakin buruk karena mengalami stres sehari-hari di tempat pengungsian. Mereka semakin putus asa karena tidak ada kepastian kapan masalahnya dapat berakhir dan kembali menjalani hidup, bagaimana ia mencari nafkah untuk keluarganya karena ia kehilangan mata pencaharian, karena peperangan mengakibatkan semua yang dimilikinya hilang, minimnya keamanan di tempat pengungsian, terjadinya konflik keluarga yang disebabkan oleh masalah ekonomi. Selain itu, tidak adanya dukungan emosional dari orang-orang terdekat juga akan memperparah stress yang dialami. Orang-orang yang pernah mengalami abuse sebelum terjadinya trauma akan menampilkan kondisi yang lebih parah karena mereka mendapat tekanan yang lebih besar. Trauma yang dialaminya akibat abuse belum terobati, namun ia harus kembali mendapatkan trauma akibat peperangan atau konflik berkekerasan. Harga yang harus dibayar sebagai akibat dari peperangan atau konflik berkekerasan ialah nyawa ratusan bahkan ribuan orang yang tidak bersalah, banyak orang yang harus mengalami ketakutan berlebihan, kehilangan keluarga, harta-benda, cacat seumur hidup bahkan kekerasan seksual baik pada wanita atau pada anak-anak.
Rasa gelisah, bingung dan takut yang coba dihilangkan oleh korban justru mengarah pada masalah baru. Mereka mengalami perubahan perilaku seperti yang telah dijelaskan sebelumnya misalnya menarik diri dari lingkungan sosial, lebih agresif, bahkan sampai menggunakan obat-obatan dan alkohol untuk melupakan kejadian traumatis tersebut. Dalam sebuah penelitian, orang-orang yang mengalami kesakitan akan bertindak lebih agresif pada orang lain (Berkowitz, 1983 dalam Aronson, 2010). Mungkin rasa sakit yang dialaminya akibat trauma mengarahkan individu pada perilaku agresif. Trauma dapat merubah cara pandang seseorang tentang hidup. Trauma menyebabkan seseorang menjadi tidak berdaya, memperkuat ketakutan, kecemasan dan kecurigaan yang berlebihan serta memupuk dendam. Orang-orang yang pernah mengalami kejadian yang menyedihkan dan menyakitkan seperti trauma tidak akan lagi menjadi orang yang sama.
Dampak lain dari konflik berkekerasan ialah timbulnya prasangka, kecurigaan pada kelompok lain, dan diskriminasi. Prasangka merupakan sikap negatif pada seseorang atau sekelompok orang hanya karena orang tersebut merupakan bagian dari kelompok tertentu sedangkan diskriminasi adalah perlakuan negatif pada seseorang tanpa alasan yang jelas, biasanya karena orang tersebut merupakan bagian dari kelompok tertentu (Aronson, 2010).
Orang-orang yang pernah terlibat konflik antar suku misalnya akan mengalami prasangka buruk terhadap suku lain dan selalu menunjukkan kecurigaan yang berlebihan. Mereka seperti itu karena merasa bahwa semua orang dalam kelompok atau suku tersebut adalah sama, yaitu orang-orang yang telah menyebabkan mereka menderita karena perdebatan atau konflik berkekerasan. Meskipun tidak semua orang dalam kelompok tersebut seperti yang mereka pikir. Mereka tidak melihat adanya variasi dalam kelompok tersebut dan menimpakan kesalahan pada kelompok lawan.
Trauma dan konflik berkekerasan juga memberikan tekanan tersendiri pada anak-anak. Anak-anak dan remaja sering dipaksa untuk ikut berperang, menjadi obyek sexual abuse, belum lagi setelah konflik usai, mereka harus bekerja untuk mencari uang dan kehilangan kesempatan untuk kembali bersekolah, tidak sedikit pula anak-anak yang kehilangan orang tua dan keluarganya. Banyak juga terjadi kriminalitas yang dilakukan oleh remaja maupun anak-anak sebagai dampak dari kekerasan yang mereka alami sebelumnya. Kekerasan dapat diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya. Hal ini bisa dijelaskan dengan teori social learning yang dipopulerkan oleh Bandura. Teori ini menyatakan bahwa kita mempelajari sesuatu dengan mengobservasi dan meniru orang lain (Aronson, 2010). Anak-anak yang terekspos kekerasan akibat perang atau konflik berkekerasan akan menjadi generasi penerus perilaku agresif dan kekerasan yang pernah dialaminya apabila tidak ada proses dan upaya pemulihan luka batin.
Daftar Pustaka
Aronson, E., Wilson, T., D., Akert, R., M. (2010). Social psychology. Seventh edition. New Jersey: Pearson
Kalat, J., W. (2009). Biological psychology. Tenth edition. Canada: Wadsworth
Irwanto. (2007). Trauma dan Gangguan Pascatrauma pada Anak. Jakarta : Universitas
Atma Jaya.
Sidabutar, S., I., E., Dharmawan, L., I., Poerwandari, K., dkk. (2003). Pemulihan Psikososial Berbasis Komunitas. Jakarta: KontraS