Jumat, 17 Agustus 2012

Dampak Psikososial Konflik Berkekerasan dan Berkelanjutan


Efriliani Pancarani 2010-070-137



Dampak Psikososial Konflik Berkekerasan dan Berkelanjutan

Seseorang mengalami stres karena situasi eksternal atau internal yang terjadi pada dirinya yang kemudian memunculkan tekanan dan mengganggu keseimbangan hidup individu tersebut dan ia dituntut untuk beradaptasi dengan situasi tersebut. Banyak situasi dalam kehidupan sehari-hari yang dapat menimbulkan stress, misalnya jalan raya yang macet, telat bangun, telat masuk kantor atau telat masuk sekolah. Namun, stress tidak hanya seputar hal-hal negatif dan mengganggu seperti yang telah disebutkan di atas. Eustress adalah ‘stres dalam artian positif’, yaitu suatu keadaan yang dapat memotivasi individu dan bersifat menguntungkan. Misalnya saja bagi beberapa orang, keadaan terjepit atau tertekan justru akan lebih memotivasi dirinya dan memungkinkan ia untuk bekerja lebih maksimal dari biasanya.

Dalam paper ini akan lebih dijelaskan stres yang bersifat negatif. Seseorang dikatakan mengalami stress apabila ia memperlihatkan beberapa gejala, seperti rasa gelisah yang berlebihan, tegang dan cemas, sakit kepala, mulas, gatal-gatal, diare, mudah lelah, tegang otot, gangguan tidur (entah tidur lebih lama atau sulit tidur), meningkatnya tekanan darah dan detak jantung. Ada pula perubahan perilaku pada individu, seperti cepat marah, tidak sabaran, agresif menarik diri dari lingkungan sosial, frustrasi, putus asa dan depresi.

Berbeda dengan stres yang dialami sehari-hari, ada pula stres pasca trauma yang terjadi akibat seseorang mengalami pengalaman-pengalaman yang mengagetkan dan menyakitkan (traumatis). Stress pasca trauma biasanya terjadi sangat mendadak sehingga mengguncang kondisi psikologis individu atau kelompok bahkan dapat menyebabkan gangguan kejiwaan. Stress pasca trauma seperti yang dialami oleh korban perang biasanya akan menimbulkan rasa putus asa dan menyebabkan teror bagi semua orang yang mengalami kejadian traumatis tersebut.

Trauma ialah luka atau kekagetan. Menurut James (dalam Irwanto 2007), trauma adalah kejutan emosional (emotional shock) yang terjadi karena pengalaman ekstrem terhadap peristiwa yang tingkatannya diluar pengalaman biasa sehari-hari. Trauma mengandung unsur-unsur yang menakutkan, mengerikan, menyedihkan, mengancam fisik, kesejahteraan jiwa dan ketidakberdayaan dari orang yang mengalaminya. Terdapat dua tipe trauma, yaitu trauma tipe 2 dan trauma tipe 1. Trauma tipe 2 terjadi akibat kejadian yang berkelanjutan, misalnya peperangan atau konflik antar suku yang umumnya terjadi selama bertahun-tahun. Sedangkan trauma tipe 1 terjadi akibat kejadian tunggal, misalnya terguncang setelah mengalami kecelakaan mobil.

Terdapat tiga reaksi perilaku yang muncul akibat trauma, hyperarousal, intrusi dan konstriksi. Hyperarousal adalah suatu kondisi dimana seseorang memunculkan reaksi panik dan ketakutan yang terus menerus akibatnya yang bersangkutan berperilaku lebih agresif, mudah terkejut akan suatu hal, muncul reaksi yang sangat intens apabila diingatkan dengan kejadian traumanya dan sulit tidur. Individu kehilangan rasa percaya diri dan rasa benci yang dalam kepada orang atau hal yang berhubungan dengan peristiwa traumatiknya. Intrusi mencerminkan kejadian traumatik yang melekat dalam ingatannya baik dalam keadaan sadar maupun saat tidur. Hal ini berakibat buruk pada kesehatan (depresi) dan hubungan sosial individu. Konstriksi mengakibatkan perilaku ingin bunuh diri karena ia mempunyai pikiran negatif terhadap dirinya setelah terjadinya trauma. Perilaku menghindar juga terjadi dalam bentuk kehilangan ingatan (amnesia), tidak mau bicara mengenai hal-hal yang mengingatkannya pada kejadian traumatik yang dialami.

Sangatlah wajar apabila seseorang mengalami kecemasan dan ketakutan setelah terjadinya trauma. Biasanya kondisi tersebut akan menghilang seiring dengan berjalannya waktu. Namun, orang tersebut akan mengalami stres pasca trauma atau biasa disebut PTSD (post traumatic stress disorder) apabila dalam waktu yang lama orang tersebut tetap menunjukkan kegelisahan, kewaspadaan yang berlebih, depresi, sulit tidur, menarik diri dari lingkungan dan gejala trauma lain.

Umumnya korban PTSD memiliki ukuran hippocampus yang lebih kecil dibandingkan dengan orang normal dan memiliki level kortisol yang lebih rendah. Kortisol merupakan hormon stres yang membantu tubuh memobilisasi energi untuk menghadapi situasi yang sulit. Dengan level kortisol yang rendah, korban PTSD akan sulit menghadapi situasi yang menekan dan menuntut dalam kehidupannya. Normalnya, stres yang terus menerus mengakibatkan peningkatan kortisol yang kemudian akan meningkatkan gula darah dan metabolisme tubuh tetapi menyebabkan energi yang harusnya digunakan untuk sintesis protein (termasuk untuk sistem imun) digunakan untuk menghadapi stres. Stres yang berkelanjutan akan menyebabkan level kortisol tinggi dan merupakan salah satu penyebab kerusakan otak pada bagian hippocampus. Hippocampus merupakan salah satu bagian otak yang berperan penting dalam memori. Kerusakan pada bagian ini akan menyebabkan kerusakan memori.

Faktor psikososial berbicara mengenai perasaan, pikiran, tindakan atau perilaku, dan hubungan antar pribadi. Individu akan mengalami perasaan yang negatif akibat trauma, misalnya rasa cemas berlebihan, takut, marah, depresi, dendam, frustrasi, sedih, putus asa dan rasa curiga yang berlebihan. Terkait dengan pemikirannya, individu akan lebih memikirkan hal-hal buruk tentang peristiwa-peristiwa traumanya, berpikir negatif tentang kehidupan, tidak mampu berkonsentrasi dan kehilangan ketertarikannya pada kegiatan sehari-hari. Perilaku korban juga akan berubah menjadi lebih agresif, overprotektif, pemarah, pemalu, kurang bersemangat, gelisah, destruktif, dan mencari perhatian. Kondisi fisik seseorang yang mengalami trauma akan menjadi kurang fit karena tidak napsu makan dan sulit tidur, sakit kepala, mual, detak jantung dan tekanan darah meningkat. Orang juga akan sulit untuk membangun hubungan sosial yang baik karena mereka sulit percaya pada orang lain, mudah tersinggung, mudah marah, agresif dan bahkan menolak untuk bersosialisasi.

Kondisi-kondisi di atas dirangkum menjadi sembilan kondisi yang berasal dari pengalaman traumagenik (keadaan traumagenik), yaitu:

  • Menyalahkan diri sendiri: rasa bersalah, rasa malu; akibatnya: mengurung diri, bunuh diri
  • Ketidakberdayaan: cemas, takut, depresi, merasa tidak berguna; akibatnya: mimpi buruk, menarik diri dari lingkungan sosial, fobia, obsesif, berfantasi
  • Perasaan kehilangan atau dikhianati: merasa bersalah, marah, rasa curiga pada orang lain; akibatnya: pendiam, mengucilkan diri, menghindari hubungan personal
  • Fragmentasi pengalaman badani: kebencian terhadap diri sendiri, hilang rasa percaya diri; akibatnya: kejang-kejang histeris, perilaku agresif yang ekstrim, banyak melamun
  • Stigmatisasi: merasa bersalah, malu, low self-esteem, benci terhadap diri sendiri; akibatnya: mengurung diri, merusak diri sendiri dengan memakai narkoba
  • Erotisasi: sulit membedakan kasih sayang dan pengasuhan, asosiasi positif pada ekspoitasi seksual, asosiasi negatif pada rangsangan atau aktivitas seksual; akibatnya: perilaku seksual agresif
  • Perilaku destruktif: menyalahkan diri sendiri, hilang kendali emosi, merasa pantas menerima hukuman; akibatnya: menarik diri, perilaku destruktif pada diri sendiri
  • Gangguan kepribadian ganda: menyimpan emosi yang sangat intens, depersonalisasi; akibatnya: tidak mengakui tindakannya sendiri, suasana hati atau perilaku mengalami perubahan mendadak
  • Gangguan hubungan interpersonal: kesepian, tertekan, menjauhi orang lain; akibatnya: sangat tergantung pada orang lain atau cari perhatian, kaku, menekan perasaan sendiri, reaksi marah berlebihan, tidak mampu menanggapi perhatian orang lain

Kondisi para korban stres pasca trauma ini sering kali semakin buruk karena mengalami stres sehari-hari di tempat pengungsian. Mereka semakin putus asa karena tidak ada kepastian kapan masalahnya dapat berakhir dan kembali menjalani hidup, bagaimana ia mencari nafkah untuk keluarganya karena ia kehilangan mata pencaharian, karena peperangan mengakibatkan semua yang dimilikinya hilang, minimnya keamanan di tempat pengungsian, terjadinya konflik keluarga yang disebabkan oleh masalah ekonomi. Selain itu, tidak adanya dukungan emosional dari orang-orang terdekat juga akan memperparah stress yang dialami. Orang-orang yang pernah mengalami abuse sebelum terjadinya trauma akan menampilkan kondisi yang lebih parah karena mereka mendapat tekanan yang lebih besar. Trauma yang dialaminya akibat abuse belum terobati, namun ia harus kembali mendapatkan trauma akibat peperangan atau konflik berkekerasan. Harga yang harus dibayar sebagai akibat dari peperangan atau konflik berkekerasan ialah nyawa ratusan bahkan ribuan orang yang tidak bersalah, banyak orang yang harus mengalami ketakutan berlebihan, kehilangan keluarga, harta-benda, cacat seumur hidup bahkan kekerasan seksual baik pada wanita atau pada anak-anak.

Rasa gelisah, bingung dan takut yang coba dihilangkan oleh korban justru mengarah pada masalah baru. Mereka mengalami perubahan perilaku seperti yang telah dijelaskan sebelumnya misalnya menarik diri dari lingkungan sosial, lebih agresif, bahkan sampai menggunakan obat-obatan dan alkohol untuk melupakan kejadian traumatis tersebut. Dalam sebuah penelitian, orang-orang yang mengalami kesakitan akan bertindak lebih agresif pada orang lain (Berkowitz, 1983 dalam Aronson, 2010). Mungkin rasa sakit yang dialaminya akibat trauma mengarahkan individu pada perilaku agresif. Trauma dapat merubah cara pandang seseorang tentang hidup. Trauma menyebabkan seseorang menjadi tidak berdaya, memperkuat ketakutan, kecemasan dan kecurigaan yang berlebihan serta memupuk dendam. Orang-orang yang pernah mengalami kejadian yang menyedihkan dan menyakitkan seperti trauma tidak akan lagi menjadi orang yang sama.

Dampak lain dari konflik berkekerasan ialah timbulnya prasangka, kecurigaan pada kelompok lain, dan diskriminasi. Prasangka merupakan sikap negatif pada seseorang atau sekelompok orang hanya karena orang tersebut merupakan bagian dari kelompok tertentu sedangkan diskriminasi adalah perlakuan negatif pada seseorang tanpa alasan yang jelas, biasanya karena orang tersebut merupakan bagian dari kelompok tertentu (Aronson, 2010).

Orang-orang yang pernah terlibat konflik antar suku misalnya akan mengalami prasangka buruk terhadap suku lain dan selalu menunjukkan kecurigaan yang berlebihan. Mereka seperti itu karena merasa bahwa semua orang dalam kelompok atau suku tersebut adalah sama, yaitu orang-orang yang telah menyebabkan mereka menderita karena perdebatan atau konflik berkekerasan. Meskipun tidak semua orang dalam kelompok tersebut seperti yang mereka pikir. Mereka tidak melihat adanya variasi dalam kelompok tersebut dan menimpakan kesalahan pada kelompok lawan.

Trauma dan konflik berkekerasan juga memberikan tekanan tersendiri pada anak-anak. Anak-anak dan remaja sering dipaksa untuk ikut berperang, menjadi obyek sexual abuse, belum lagi setelah konflik usai, mereka harus bekerja untuk mencari uang dan kehilangan kesempatan untuk kembali bersekolah, tidak sedikit pula anak-anak yang kehilangan orang tua dan keluarganya. Banyak juga terjadi kriminalitas yang dilakukan oleh remaja maupun anak-anak sebagai dampak dari kekerasan yang mereka alami sebelumnya. Kekerasan dapat diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya. Hal ini bisa dijelaskan dengan teori social learning yang dipopulerkan oleh Bandura. Teori ini menyatakan bahwa kita mempelajari sesuatu dengan mengobservasi dan meniru orang lain (Aronson, 2010). Anak-anak yang terekspos kekerasan akibat perang atau konflik berkekerasan akan menjadi generasi penerus perilaku agresif dan kekerasan yang pernah dialaminya apabila tidak ada proses dan upaya pemulihan luka batin.





Daftar Pustaka

Aronson, E., Wilson, T., D., Akert, R., M. (2010). Social psychology. Seventh edition. New Jersey: Pearson

Kalat, J., W. (2009). Biological psychology. Tenth edition. Canada: Wadsworth

Irwanto. (2007). Trauma dan Gangguan Pascatrauma pada Anak. Jakarta : Universitas

Atma Jaya.

Sidabutar, S., I., E., Dharmawan, L., I., Poerwandari, K., dkk. (2003). Pemulihan Psikososial Berbasis Komunitas. Jakarta: KontraS

Peace Culture


Dara Alexandra 2008-0701-231


Peace Culture 
Elise Boulding

Pada awal artikel, Elise Bouilding memberikan sejumlah daftar pengertian beberapa kata dan istilah seperti ahimsa, altruism, civil society, culture of peace, peace, power, utopianonviolence, hingga pengertian dari peace culture itu sendiri. Ahimsa misalnya, merupakan salahsatu ajaran Mahatma Gandhi mengenai prinsip praktek tidak membunuh dan tidak menghancurkan segala hal yang hidup. Culture of peace, sekelompok karakteristik saling berhubungan dan berlembaga yang mengizinkan masyarakatnya untuk memberikan respons secara kreatif dan bersifat damai terhadap perbedaan dan konflik. ‘Utopia’ merupakan judul buku karangan Thomas More (1516) mengenai sebuah tempat khayalan dimana masyarakatnya telah mencapai sistem sosial yang sempurna. Utopia juga bisa berarti komunitas yang bertujuan untuk menciptakan sebuat miniatur lembaga atau masyarakat ideal. Membicarakan mengenai perdamaian identik dengan perilaku tanpa menggunakan kekerasan fisik maupun mental (nonviolence) dalam menghadapi konflik, perbedaan dan masalah sosial lainnya. Peace culture sendiri memiliki 5 atribut yaitu sebagai identitas, perilaku, nilai, kepercayaan, dan institusi atau lembaga.

Pada prakteknya, seperti yang diakui oleh Gandhi sendiri terhadap ajaran Ahimsa, penyelesaian konflik tanpa kekerasan tidak selalu dapat dilakukan dan membutuhkan penyelesaian masalah melalui kerjasama yang memenuhi kebutuhan semua pihak. Tentu saja pemenuhan kebutuhan bagi semua pihak menjadi goal yang sulit tercapai. Dalam kehidupan sehari-hari manusia pasti pernah mengalami kejadian dimana kebutuhannya tidak terpenuhi sama besarnya dengan orang lain dalam bekerja sama di kehidupan sehari-hari. Altruism atau prinsip kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain walau mengorbankan kesejahteraan sendiri seharusnya dapat ditekankan tetapi kekerasan tetap menjadi jalan keluar utama karena selain paling mudah untuk dilakukan, juga cepat dan merupakan bagian dari kebudayaan (melalui ajaran agama misalnya). Pada prakteknya tindakan altruism itu sulit karena diri sendiri yang dirugikan, sedangkan kekerasan gampang karena cepat dan hasil bisa lebih menguntungkan diri sendiri, sayangnya hanya menimbulkan konflik baru (terlihat menyelesaikan masalah pada awalnya).

Dari semakin banyaknya berita di media masa mengenai tindak kekerasan yang dilakukan baik oleh anggota masyarakat terhadap sesama anggota maupun kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap anggota masyarakat dalam menyelesaikan konflik, menandakan bahwa kekerasan masih menjadi jalan keluar utama dalam penyelesaian konflik padahal konflik merupakan hal yang sulit dihindari dalam hidup. Konflik menjadi bagian dari hidup, didukung dengan fakta bahwa manusia hidup berdampingan. Dalam menghadapi perdebatan dengan diri sendiri saja masih sulit, apalagi ketika harus berhadapan dengan orang lain. Tetapi harus dipisahkan antara konflik dengan kekerasan karena keduanya bukan hal yang yang sama. Sehingga budaya kekerasan terus menerus berlanjut. Berbagai pemberitaan di media televisi, surat kabar, internet, maupun mengalami langsung, orang mengetahui bahwa kekerasan masih menjadi alat utama dalam menghadapi permasalahan, jarang diberitakan kepada dunia bahwa masih banyak komunitas-komunitas yang mengajarkan penyelesaian konflik tanpa kekerasan . Biasanya mereka dapat ditemukan dalam komunitas-komunitas yang mematuhi ajaran agama tanpa kekerasan dan komunitas asli yang masih terisolasi namun menangani segala konflik dengan mudah tetapi praktis tanpa kekerasan. Sehingga perlu adanya tindakan konkret untuk memberhentikan budaya kekerasan dan sedikit demi sedikit menggantinya dengan kebudayaan damai. Tetapi secara umum dalam artikel dikatakan bahwa kedamaian dan agresi hidup bersamaan sebagai kelompok sikap dan perilaku yang ada di sebagian besar masyarakat, mencerminkan kebutuhan manusia untuk pada satu sisi menjalin ikatan, dan di sisi lain untuk otonomi, juga untuk memiliki ruang pribadi (personal space). Setiap kultur mengembangkan polanya sendiri dalam menyeimbangkan kedua hal ini. Pola bisa tanpa kekerasan namun bisa juga dengan menggunakan kekerasan tergantung periodenya. Pada tahun 1986, UNESCO mensponsori Seville Statement on Violence, yang menyatakan “It is Scientifically incorrect to say we have inherited a tendency to make war from our animal ancestors. War is biologically possible, but it is not inevintable.” Dan “There are cultures which have not engaged in war for centuries, and there are cultures which have engaged in war frequently at some times and not at others.” Pernyataan ini menyimpulkan bahwa perang dimulai dari pikiran manusia, begitu juga dengan perdamaian juga dimulai dari pikiran. Spesies yang sama yang menciptakan perang juga mampu menciptakan perdamaian. Tanggung jawab menjadi milik kita semua. Tetapi perlu ditekankan pula bahwa peace culture atau kebudayaan damai tidak dapat dikatakan berhasil hanya dengan absennya peperangan saja. Peace culture merupakan sebuah proses penyelesaian masalah tanpa kekerasan yang terus berlanjut dan penciptaan sebuah institusi yang dapat memenuhi kebutuhan semua anggotanya. Bagaimanapun juga, dalam setiap masyarakat, sekeras apapun itu, penjalinan ikatan merupakan pusat reproduksi dari masyarakat tersebut. Kehidupan sehari-hari berkisar antara membesarkan dan memberi makan pada keluarga, dan mengatur produksi dan pemenuhan kebutuhan manusia, diselingi dengan pesta juga perayaan kreativitas manusia dalam puisi, lagu, tarian, dan seni. Tetapi sebagian besar sejarah manusia dicatat dari kebangkitan dan kejatuhan dari kerajaan-kerajaan. Berkisar antara peperangan, militer, dan revolusi politik. Menceritakan mengenai kekuatan suatu bangsa, bagaimana bangsa itu mengalahkan bangsa yang lebih lemah dan bersaing dengan bangsa lainnya. Sejak zaman dahulu, catatan sejarah hanya berpusat pada kemenangan-kekalahan pendeta-raja dan tuhannya di dunia ini, juga kemegahan kemenangan pejuang-pejuang zaman dahulu. Hal ini sedikit banyak mempengaruhi cara berpikir dan self-image sebagian besar orang. Catatan sejarah seperti ini mengarahkan pandangan bahwa perjuangan untuk mendapatkan kekuatan menjadi dasar dari eksistensi manusia. Banyaknya laporan mengenai tingginya kesiapan militer akan bahaya yang mengancam dari luar serta kekerasan antar kebudayaan menjadi bukti dari pandangan ini. Tetapi telah dimulai inspeksi akan pandangan sejarah yang lebih berpusat pada peperangan menjadi lebih mendukung pencatatan sejarah dari sisi hubungan manusia dengan hidup itu sendiri. Hal ini diharapkan akan lebih menyeimbangkan kebudayaan ‘pejuang’ dan peace culture dan membuka konsep yang lebih kuat mengenai peace culture. Bibit dari perkembangan ini telah ditemukan di masing-masing tradisi ‘pejuang’ seperti angkatan laut Inggris yang memiliki moto perdamaian dalam berlayar, dan sebuah proyek yang dimulai di Jerman tentang langkah penting pengubahan gambaran dari sejarah dengan lebih mengutamakan filosofi, seni, pembelajaraan, karya tulis, agama, teknologi, ilmu pengetahuan, dan lainnya, seiring berjalannya waktu. Saya sangat setuju dengan pandangan dan proyek pengembangan dan inspeksi bagaimana sejarah manusia di catat. Hal ini dikarenakan pandangan pribadi bahwa sedari kecil orang terbiasa untuk belajar sejarah hanya dari buku-buku yang diberikan sekolah, misalnya mengenai bagaimana bangsa Belanda menindas nenek moyang zaman dahulu dan bagaimana pejuang Indonesia mengusir Belanda dengan menggunakan bambu runcind (identik dengan kekerasan). Sebagian besar buku tersebut berpusat pada bagaimana sejarah dicatat dari perjuangan manusia untuk menang akan manusia lain dan bagaimana bangsa yang kalah diperlakukan oleh bangsa yang kuat akan menandakan bahwa bagaimana bangsa tersebut akan dipandang. Sayangnya tidak banyak diberitahukan bagaimana komunitas-komunitas yang mungkin tidak terlihat dan terisolasi menangani konflik atau masalah sosial sehari-hari dengan mencoba menemukan strategi berpikir yang tanpa kekerasan dan sebisa mungkin memenuhi kebutuhan semua pihak sehingga tidak ada yang merasa dirugikan. Seharunya pencatatan sejarah serta kurikulum sekolah juga mendukung kebudayaan damai dengan lebih menekankan mengenai filosofi, pembelajaran, musik, seni, kehidupan sehari-hari, ilmu pengetahuan, teknologi manusia zaman dahulu, sehingga pada setiap individu tercipta pandangan bahwa hidup manusia bukanlah dari kompetisi, kalah-menang dengan adu jotos saja, atau bahwa manusia ada hanya dari bagaimana ia mengalahkan orang atau bangsa lain. Dari artikel karya Elise Bouding ini dapat dilihat bahwa pada dasarnya manusia mendambakan kedamaian atau ‘dunia yang lebih baik lagi dimana segala sesuatu berjalan dengan harmonis’ yang berseberangan dengan permasalahan yang masih dialami dalam masa sekarang, ditunjukan dengan banyaknya konsep dari masyarakat atau komunitas mengenai Utopia (‘no place’). Elemen dari Utopia dapat ditemukan pada Taoism, Theravada BudhismMedieval Islam, juga cerita-cerita bangsa Cina, Indian, dan Jepang mengenai surga khayalan. Walaupun utopia terdengar seperti kahayalan belaka dan ingin lari dari realita, sebenanrnya sejarah dan penulisan mengenai utopia merupakan karya master dari kritik sosial akan keadaan zaman tersebut. Pada kenyataannya pun, dalam pencapaian ‘utopia’ di kehidupan nyata, tidak bisa menghindari konflik dengan kekerasaan dalam pencapaiannya. Walaupun tujuan perjuangan tersebut adalah demi persamaan, keadilan, dan kedamaian masyarakat. Selain itu, dalam usaha menyebarkan bibik budaya damai, perlu juga dalam materi pelajaran sejarah maupun budaya di sekolah yang mempelajari kebudayaan bangsa lain yang sudah lebih maju dalam perkembangan peace culture-nya sehingga dapat dijadikan acuan untuk mengelaborasi dengan budaya asal dan pengembangannya menjadi sesuai dengan situasi sekitar. Hal lain yang musti diutamakan dan juga dijelaskan dalam artikel adalah hubungan budaya wanita dengan peace culture karena peran wanita dalam keluarga yang menunjukan sikap pengasuhan dan damai dalam masyarakat sudah menjadi tema dalam perkembangan sejarah manusia. Sebagian besar kebudayaan didominasi dari kaum pria dan wanita serta anak-anak menjadi korban paling besar dalam peperangan. Sudah menjadi bagian dari sejarah bahwa wanita secara konstan bekerja secara kreatif untuk mengasuh, menyembuhkan, dan mengembangkan pria serta anak-anak dalam pengasuhan mereka. Sering wanitalah yang kembali membangun sisa-sisa perang, pengolahan sawah dan kanal, sampai ke rumah sakit dan kamp penampungan korban perang, juga untuk memelihara seni, tarian dan puisi. Semua hal ini telah lebih baik di zaman sekarang, dan diharapkan akan semakin mengalami peningkatan dalam perkembangannya.

Dari artikel ini dapat dilihat bahwa damai bukanlah sekedar kata, sekedar sikap menjaga keharmonisan menghindari konfli. Bisa disimpulkan bahwa kata damai itu sendiri kompleks dan menjadi filosofi hidup yang ingin dicapai sebagaian besar masyarakat dunia tetapi prakteknya lebih sulit dari teori. Peace culture lebih mudah dijalankan pada level mikro yaitu komunitas-komunitas kecil yang menjadi bagian dari masyarakat dibandingkan pada level makro yang di dalamnya termasuk suatu bangsa besar. Tetapi perdamaian bukan tidak mungkin tercapai karena terbukti bahwa sebenanrnya semua orang mengimpikan perdamaian. Damai harus dijadikan budaya dan peace culture memerlukan strategi tingkat tinggi dan proyek jangka panjang dimana segala bidang mulai dari politik, pendidikan, agama, seni, sejarah, teknologi ikut mendorong perkembangan budaya ini sama dengan bagaimana segala bidang dapat menciptakan budaya kekerasan. Semua umat manusia bertanggung jawab akan hal ini.

Definisi dan Konsep PEACE


Christoforus 2009070202



Definisi dan Konsep “PEACE

Fungsi ganda dari definisi
Definisi memiliki 2 fungsi utama. Yang pertama adalah untuk memfasilitasi komunikasi bahasa atau sering disebut definisi descriptive, dan yang kedua adalah untuk menyederhanakan formulasi teori dan memberikan gambaran sikap atau sering disebut definisi prescriptive.
Definisi descriptive dapat ditemukan dalam kamus dan dapat berbentuk sinonim atau ilustrasi yang diperjelas dengan contoh dan tidak mempermasalahkan benar atau tidaknya arti tersebut namun memberikan gambaran secara kontekstual menurut penulis, sedangkan definisi prescriptive menekankan pada penggunaan yang tepat untuk sebuah kata dan membuat kata tersebut mampu digunakan sebagai alat dalam pembuatan teori. Definisi operational juga termasuk dalam definisi prescriptive karena mengindikasikan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus diamati untuk memahami kata tersebut dalam konteks teori. Jenis lain dari definisi prescriptive adalah definisi extensional.

Encyclopedia Entries
Pada tahun 1911, “peace” dalam Encyclopedia Brittanica diartikan sebagai “the contrary of war or turmoil, the condition that follows their cessation. It’s sense in international law is not being a war”. Setelah observasi mendalam mengenai konsep peaceEncyclopedia Brittanica menulis lebih dari 100 perjanjian yang dianggap merupakan komponen pembentuk peace seperti perjanjian antara dua negara, yang memberikan pengertian bahwa peace bersifat universal. Sedangkan “peace” menurut Encyclopedia Americana tahun 1987 diawali dengan hasil observasi “unfortunately, peace has received less attention than it’s counterpart war. The word itself has neither acceptably defined, nor has there ever been agreement on how to define peace”. Hal ini membuat pengertian peace bukanlah merupakan definisi descriptive karena tidak berlaku secara umum dalam semua konteks.

Konsep peace: personal-political
Konsep peace berlaku baik secara personal maupun secara politik. Secara personal manusia mengenal konsep peace dari ajaran agama. Pandangan bahwa manusia harus bersikap baik terhadap sesame menjadi dasar perilaku yang diharapkan sebagai pemicu konsep peace. Apapun alasan dibalik pandangan ini menimbulkan munculnya berbagai gerakan aktivis untuk mencegah perang dan untuk menyelesaikan konflik.
Sedangkan di sisi lain ada gerakan pemerintahan modern yang pada dasarnya memiliki pandangan bahwa kekerasan berskala besar adalah bentuk pencarian kekuatan dari masyarakat terhadap penguasanya. Mereka menganggap bahwa solusinya bukanlah menghancurkan pemerintahan tapi memperluas dan meningkatkan kesejahteraan secara universal ke seluruh planet.

The scope of peace-related definitions
Galtung memberikan klasifikasi yang lebih mendalam mengenai konsep peace berdasarkan hubungan antar negara, yaitu “war”, “negative peace” dimana tidak ada kekerasan namun juga tidak terdapat hubungan apapun yang signifikan, “positive peace” dimana tidak terdapat kekerasan dan terkadang terjadi hubungan, dan “unqualified peace” dimana tidak ada kekerasan dan adanya hubungan jangka panjang. Galtung juga memberikan klasifikasi unit sosial yang mencakup individu, grup, negara, dan sistem internasional negara-negara.

Conceptions of peace
Role of power
Hegemony adalah pengkonsentrasian kekuatan pada satu negara sehingga usaha untuk memulai peperangan tidak akan berhasil dicapai seperti Amerika setelah perang dunia kedua yang menjadi satu-satunya negara superpower. 

Balance of power. Konsep ini kebalikan dari hegemony dimana kekuatan dibagi sama rata diantara negara-negara besar yang mengakibatkan tidak ada negara yang lebih kuat sehingga peace bisa terjaga..

Interrelationship among states
A crisscross network of conflicts. Konsep ini menyatakan semakin banyak konlik dalam system internasional, maka keseluruhan peace akan semakin stabil.

A crisscross network of loyalty. Jika kesetiaan masyarakat terbagi antara masyarakat asli dan pendatang maka pemberian bantuan untuk perang akan semakin sulit.

Utopias
Utopia adalah masyarakat ideal yang merupakan imajinasi dari filosofis eropa. Sesuai dengan namanya yang berarti “nowhere”, utopia diabayangkan terisolasi dari masyarakat lainnya sehingga permasalahan yang menyebabkan perang antarmasyarakat tidak akan terjadi. Utopia juga digambarkan bebas dari permasalahan internal yang disebabkan oleh monopoli pengambilan keputusan oleh “philosopher-king” yang menyebabkan perebutan kekuasaan tidak akan terjadi.

Three modes of social control
K.E. Boulding menggagaskan three modes of social control yaitu, threat, trade, dan integrationThreat memberikan kekuasaan absolut pada pemerintah dan kontrol penuh terhadap masyarakat sehingga usaha-usaha untuk merebut kekuasaan tidak akan terjadi. Threat juga bisa dianggap sebagai “negative peace” karena terdapat jarak antara pemerintahan dengan masyarakat. Social control yang berbasis trade akan bebas dari kekerasan internal namun tetap menjaga hubungan atau sering disebut “positive peace”. Sedangkan integration merujuk pada masyarakat yang kooperatif, kebutuhan setiap individu terpenuhi, dengan anggapan bahwa semua adalah anggota masyarakat.

Sejarah Pembuatan Blog

Pembuatan blog ini diawali dengan pembuatan wikispaces di Semester Padat 2012 untuk mata kuliah Peace PsychologyTerima kasih untuk 16 orang mahasiswa mata kuliah Peace Psychology Semester Padat tahun 2012 di Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya Jakarta yang telah memelopori proses ini: 


  1. Mikail Tauhid Harmain
  2. Helen Clara Tjiadarma
  3. Maria Helena Glenndy Tirayoh
  4. Yuan Nehemia J Pasaribu
  5. Abdillah Adha Peddy Gobel
  6. Daniel Bernard Oloan
  7. Dara Alexandra Esterlita
  8. Bima Afrido Wicaksono
  9. Maria Emily Prameswari
  10. Maria Bramanwidyantari
  11. Christoforus Poltak H N
  12. Raissa Valentine
  13. Nesha Erika
  14. Elfriliani Pancarini
  15. Yosefin Nadia Inggrida
  16. Avicenna Raksa Santana


Di bulan Agustus 2012, bertepatan dengan mulainya semester ganjil 2012/2013, mata kuliah Peace Pschology kembali dibuka dan blog ini dibuat untuk menampung berbagai tulisan mahasiswa, baik di semester padat yang telah berlalu dan semester ganjil yang akan berjalan.

Media ini diharapkan menjadi media untuk bertukan knowledge mengenai peace psychology, tidak saja di kalangan para mahasiswa yang sedang mengambil mata kuliah ini, tetapi juga berbagai pihak yang tertarik dan berminat mendalam tema-temai terkait dengan peace psychology. Kolaborasi dan knowledge sharing yang terjadi melalui blog ini semoga bermanfaat bagi banyak pihak.

Sebagai langkah awal pengembangan knowledge mengenai peace psychology, disadari bahwa halaman ini memiliki sejumlah keterbatasan dan membutuhkan umpan balik untuk semakin meningkatkan kualitasnya. Terima kasih.